BERJASAKAH PENJAJAH?

By Desember 27, 2017

Mutiara hidayah:

Pelajaran dari para pahlawan, lari dari musuh atau menyerah berarti mempertaruhkan kehormatan. Derita generasi ke generasi menanti.

BERJASAKAH PENJAJAH?

Berita yang beredar di sekitar kita kadang memaksa otak kita untuk turut berputar-putar dalam ranah opini.  Kadang ada yang mau diajak diskusi, kadang berdiskusi dengan diri sendiri.

Sore itu aku sedang menyelesaikan pekerjaanku di kantor.  Suara notifikasi facebook kadang mengganggu juga.  Maklumlah rasa penasaran untuk mengetahui pendapat kawan kadang menjadi bagian dari sasaran perang opini untuk para muslim cyber army.  Sebenarnya aku bukan cyber army yang efektif.  Tapi berbagi pendapat yang dibaca satu dua orang saja aku pikir bukan hal yang sia-sia.

Berselancar di dunia maya menghubungkan siapa saja meskipun berjauhan.

“Assalamu’alaikum, Mbak.”  Seseorang dari seberang sana menyapa

“Waalaikum salam, maaf ini dengan siapa, ya?”  Aku kurang begitu kenal dengan nama akunnya.

“Saya temen Mbak di SMA dulu masak lupa?”

“Maaf saya rasa nama akun Mbak bukan nama asli, ya?  Sebentar ya…saya intip dulu timelinenya.”

Aku mencoba mengenali teman facebook yang namanya cukup membingungkan karena tidak terekam dalam memoriku yang sudah agak jadul ini.  Sering ngeload karena factor U.

Setelah aku membuka item about, foto album dan lain-lain, aku teringat teman baikku di SMA dulu.  Kami berbincang akrab untuk mengulangi kenangan masa lalu kami semasa SMA.

Perbincangan mulai mengarah pada hal-hal yang serius.  Tentang pernyataan yang sedang viral “Kita harusnya berterimakasih pada Belanda”
Kami mulai berdiskusi serius.

“Kalau aku setuju aja dengan pernyataan sebagian pakar sejarah itu.  Berterima kasih pada Belanda.  Nggak ada salahnya kita berendah hati mengakui jasa Belanda.”

Terus terang nggak biasanya aku mendapat tawaran diskusi yang agak ekstrim seperti ini.  Sejak dulu pembelajaran di sekolah selalu menempatkan penjajah sebagai pihak yang salah.  Sekarang di akhir zaman ini, tata nilai dan opini yang pakem mencoba dibolak-balik oleh mereka yang mengaku berilmu.  Parahnya lagi adu opini ini membelah anak bangsa dalam berbagai kotak yang berbeda.

“Contoh jasa Belanda yang mana ya Mbak?”

“Belanda meletakkan berbagai landasan pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara, Mbak. Misalnya ekonomi, hokum dan pendidikan.”

“Kalau menurut saya sih justru warisan Belanda yang mengobrak-abrik tata kelola Negara yang sudah kita miliki sebelumnya.” Aku mencoba bertukar pikiran, meskipun nampaknya kami seperti dua kutub yang berbeda.

“Jadi apa yang kita jalani sekarang, menurut Mbak ada yang salah?”

“Bukan hanya ada yang salah….tapi salah total.  Misalnya kurikulum pendidikan.  Bagaimana mungkin pembelajaran agama hanya 2 jam pelajaran.  Perekonomian dipenuhi dengan system ribawi.  System hokum dan peradilan banyak menyisakan praktek mafia.”

“Ya memang banyak kelemahan yang kita jalani sekarang.  Tapi paling tidak mereka juga mengajarkan bangsa ini banyak hal.  Banyak perusahaan didirikan buat mengelola alam dengan baik.”

“Menurut saya system yang mereka ajarkan itu liberalisme kapitalisme.  Apa yang bias kita harapkan dari system yang didukung oleh perbankan ribawi.  
Menguntungkan pemilik modal, menekan pengusaha.  Pengusaha menekan buruh demi amannya roda perusahaan.  Yang lebih menyedihkan, konsumen pun tidak terlindungi dari segi keamanan produk demi meraih untung yang hukumnya wajib.  Kenapa wajib untung?  Karena bank pemberi modal nggak mau tahu nasib dan proses perputaran modal usaha.”

Dari seberang sana tidak ada jawaban apapun untuk sementara waktu.

“Ya…minimal meereka menguasai daerah yang menjadi emberio lahirnya Indonesia.”  

Kalimat ini mengakhiri perbincangan kami.

Di era informasi ini memang manusia bebas menyampaikan pendapatnya.  Yang lebih berbahaya kalau perang opini ini dimenangkan oleh pihak yang salah. Kalau membangga-banggakan penjajah, bukankah mengurangi penghargaan kita pada para pahlawan.

Diskusi berlanjut di beberapa hari berikutnya.  Kali ini dengan teman facebook yang berbeda.  Muridku di SMA yang aku ajar empat tahun yang lalu.  Kali ini pembicaraan kami agak sejuk karena pendapat kami tidak terlalu jauh berbeda.  Kalaupun ada perbedaan, aku lebih mendominasi.

“Bu, ada orang berpendapat bahwa kita harus berterimakasih ke Belanda.  Apakah bukan berarti kita harus mempertanyakan perjuangan para pahlawan kemerdekaan?” 

Perbincangan serius berawal setelah kami berbasa-basi di awal chatingan. (Mungkin lebih tepat bermuamalah kali bukan basa-basi)

“Pendapat bahwa kita harus berterimakasih pada Belanda sebenarnya keluar dari pandangan umum bangsa kita.  Banyak pilihan opini yang ditawarkan dari kalimat itu dari yang lunak hingga paling ekstrem.”

“Maksudnya gimana,Bu”

“Begini dari kalimat itu menghasilkan berbagai pernyataan yang berkembang dengan sendirinya misalnya, Belanda bukan menjajah tapi mengajarkan.  Pahlawan adalah mereka yang tidak sependapat dengan modernisasi yang ditawarkan belanda.  
Bangsa kita tidak terbuka terhadap modernisasi. Dan seterusnya.”

“Kalau begitu pandangan itu sangat berbahaya, Bu?

“Sangat berbahaya dan menyakitkan.”

“Kalau pandangan Ibu tentang pahlawan bagaimana?”

Aku berhenti sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan ini. Cukup lama aku berpikir. Dan…

“Pahlawan itu bukan orang biasa.  Mereka adalah orang-orang yang mau keluar dari zona aman, demi sebuah idealisme.  Bagaimanapun, imperialism barat tidak bias dipisahkan dari visi-misi mereka tentang God, Gold and Glory.  Mereka menyebar agama, mengumpulkan emas dan meraih kejayaan.  Kalaulah mereka terlihat bekerja sama, berinvestasi, itu semua bagian dari strategi.

Pahlawan adalah mereka yang menyadari bahaya ini.  Menyadari ketidak adilan yang tidak boleh dibiarkan.  Kehormatan pemilih pertiwi harus dikembalikan dari mereka yang dating kemudian mengeksploitasi dan merusak alam. 

Meskipun tidak bias kita pungkiri, segala sesuatu ada baik buruknya.  Tapi bukan lantas kita berterimakasih pada penjajah.  Berterimakasih pada Alloh SWT yang menggulirkan cerita dalam takdirNya.  Ambil hikmah dari kejadian yang Dia tentukan.”

“Maksud Ibu bagaimana?  Berarti bersyukur pada takdir kita pernah dijajah?”

“Hikmah di balik itu yang harus kita syukuri, bahwa kita bersatu, bersepakat untuk merdeka.  Wilayah kita adalah NKRI sekarang.  Bahwa dengan datangnya Belanda, amalan terbaik para pahlawan tercatat disisiNya. Bahwa ada peluang syahid bagi mereka yang mempertahankan hak milik dan kehormatan.”

“Bersyukur ya Bu, Alloh hadirkan pahlawan di sekitar kita.”

“Ya, siapapun berpeluang jadi pahlawan hingga zaman berakhir.”

“Lho Bu, mana penjajahnya.  Kan kita sudah merdeka?”

“Pahlawan itu bukan hanya yang mengusir penjajah, tapi para pejuang nilai-nilai kebenaran universal.  Kebenaran inilah yang harus terus kita dengungkan.”

“Kalau untuk zaman sekarang bagaimana Bu penerapannya.”

“Misalnya kita sekarang ini belum berdaulat secara ekonomi, kita berpeluang mendaulatkan perekonomian kita.  Terhindar dari eksploitasi asing yang menguntungkan mereka dan memiskinkan baik secara peran maupun kepemilikan bangsa kita.”

“Termasuk juga upaya reklamasi yang menguntungkan bangsa asing ya Bu.”

“Benar.  Banyak yang menolak reklamasi dan banyak juga yang menginginkannya.  Tapi mestinya sebagai Negara merdeka kita bias menjawab tegas menolak atau tidaknya.”

“Kalau reklamasi itu banyak mudhorotnya daripada maslahatnya terutama untuk kedaulatan kita sebagai bangsa, kita juga bias menolaknya ya Bu.”

“Benar dan kita akan menjadi pahlawan yang memperjuangkan nilai kebenaran itu.  Sebaliknya bila kita menyerah begitu saja karena idealism kita terkalahkan oleh uang.”

Anak muridku itu mengambil kesimpulan dari perbincangan kami pagi ini. Duia menuliskan dampak reklamasi dengan sangat tepat.  Tentu hal ini membuatku bangga:
1.  Reklamasi merusak lingkungan bukan hanya daerah pantai tetapi juga Jakarta
2.    Reklamasi memiliki dampak social yang tidak ringan karena menghilangkan lapangan kerja bagi para nelayan
3.    Reklamasi memiliki dampak komposisi demografi bila diperuntukkan bagi pihak asing
4.    Reklamasi memiliki dampak politis dan menjadi potensi penjajahan/perbudakan dengan cara halus dan tersepakati.  Ini sangat mengerikan






You Might Also Like

0 komentar