INSPIRASI BUAH HATI

By Desember 21, 2017

Orang Istimewa bukanlah orang yang dikelilingi oleh kemudahan, tetapi mereka yang mampu menakhlukkan kesulitanMenakhlukkan kesulitan tidak selalu mengubahnya menjadi kemudahan, tetapi juga menumbuhkan kesyukuran dan kesabaran dalam kesulitan


INSPIRASI DARI BUAH HATI


Berpisah dariku sejak berusia sebelas tahun, membuatnya makin matang dan mandiri.  Ketika mengingat usia sekolah dasar,  aku hampir tak mampu mengusir keraguanku.  Akankah putriku yang satu ini bisa mandiri dan dewasa.Sejak kecil khadimah selalu saja membuat anak-anak merasa keenakan.  Pembagian tugas di rumah pun menjadi kurang efektif.

"Bibi, biarlah itu pekerjaan bagian Kak Aisy.  Jangan dikerjakan sama Bibi.  Bagaimana mereka bisa menghargai pekerjaan Bibi kalau nggak pernah tahu bagaimana susahnya kerjaan rumah."

"Biarlah Bu, Bibi merasa nggak enak kalau pulang meninggalkan pekerjaan yang belum selesai."

"Pokoknya begitu bagian Bibi selesai, Bibi harus segera pulang.  Ini bagian pendidikan buat anak-anak saya."  Aku memberi pesan terakhir itu hampir setiap hari.  Tapi aku tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan pembagian kerja itu.  Pekerjaan di kantor membuatku pulang hingga pukul  tiga sore.  Yang aku tahu setiap kali pulang semua sudah beres.

Hingga suatu hari.

"Kak Aisy, kenapa cucian piringnya masih kotor? Kan tiap hari Ummi kasih tugas yang sama buat Kakak?"

"Maafin Aisy, Mi...sebenarnya Bibi selalu melarang Aisy buat ngerjain tugas Kakak. Tiap Aisy pulang sekolah selalu saja seluruh pekerjaan sudah rapi. Jadi Aiy belum begitu bisa melakukan dengan baik. Ummi jangan marah ya....?"  

Demi melihat wajah memelasnya, aku meredam segala kecewa.

"Aisy berjanji akan melakukan tugas Aisy sebelum Bibi datang."

Aku tersenyum mendengar kejujuran dan ketulusan janjinya.  Padahal kalau mau bisa saja dia bohong.  Mengatakan bahwa tugasnya benar-benar dia lakukan.  Toh aku tidak melihat langsung tugasnya dikerjakan bibi.

Sayangnya, kesadaran Aisyah ada di minggu terakhir sebelum ia masuk pesantren.  Aku dan Abi Aisy sepakat memasukkannya ke pesantren putri.  Ada banyak pertimbangan kami dalam memutuskan pendidikan anak kami.  Kemandirian, pemahaman agama sebagai modal hidup merupakan pertimbangan utama kami.

Malam itu, kami sekeluarga mengelilingi hidangan sederhana.  Nasi putih, sayur lodeh hangat, sambal goreng teri kacang, sambal tomat dan sesisir pisang ambon.  Aku, Abi , Aisy dan dua anak kami yang lain, Kamilah dan Zulfikri menikmati makan bersama 

"Kak, Ummi dan Abi ingin kamu menimba ilmu di Pesantren Terpadu Darul Akhirah.  Alasannya, ini akan menjadi latihan awal kamu berpisah dari Abi dan Ummi.  Kalau ada apa-apa, Abi-Ummi nggak kesulitan nengokinnya?" Abi berbicara pelan mengungkap maksud kami

“Bagaimana kamu siap untuk mondok?” tanyaku. 

Sebetulnya dunia pesantren bukan hal yang asing buat Aisyah.  Dia sering ikut Abinya yang mengajar di pesantren mewakafkan diri.  Kekhawatiranku lebih pada bagaimana ia bisa berpisah dengan teman dekatnya di SD yang menerut cerita Aisy, ia tidak akan mesantren.

Kami terdiam sejenak.

“Aisy mah, gimana baiknya Abi Ummi saja. Aisy ikut keputusan Abi-Ummi,” ucap Aisy ringan tanpa beban.


Dalam perjalanan waktu Aisy membuktikan perkataannya itu”Aisy ikut keputusan Abi-Ummi”

Tiga tahun di Pesantren Darul Akhirah, hasil belajarnya belum memenuhi harapan kami.  Libur akhir tahun,  kami kirim Aisy ke salah satu pesantren kawan dekat suamiku.  Tujuan kami supaya Aisy dapat memperlancar dan memperbaiki bacaan Alqurannya.  Tidak lama, hanya satu bulan.  Dan ia menurut.

Suatu saat, Abi punya harapan Aisy untuk menguasai ilmu alat (nahwu-shorof).  Kini tak tanggung-tanggung kami mengirimnya ke Jepara.  Perjalanan 14 jam dari tempat tinggal kami, Pesantren Amtsilati.

“Aisy, Abi ingin Aisy bisa membaca kitab kuning.  Aisy kan baru berumur 13 tahun.  Berhenti sekolah untuk belajar bahasa Al Qur’an bukan sesuatu yang merugikan.” Untuk kesekian kali kami berunding saat itu.

Aisy memang masuk sekolah dasar di usia lima tahun.  Ia menjadi yang termuda di kelasnya.

Seperti biasa ia katakan,” Aisy ikut bagaimana baiknya aja.”

Satu bulan setelah Aisy memperbaiki bacaan Qur’an, kami bertiga berangkat.  Menaiki bis dari Tasikmalaya jam tujuh malam.  Jam sembilan kami memasuki pesantren Amtsilati.  Dari tepi jalan kami berhenti, hanya tiga menit berjalan kaki, kami sudah memasuki kawasan pesantren.

Sebuah pesantren besar dengan ribuan santri.  Berbagai jenis bangunan mengelilingi pelataran yang cukup luas. Masing-masing bangunan diberi nama sesuai fungsinya. Rumah pimpinan, masjid, ruang tunggu tamu dan rumah pengasuh santri agak terpisah jauh.

Kami menanyakan banyak hal pada resepsionis (petugas penerima tamu).   Setelah semuanya jelas, kami menyelesaikan segala urusan administrasi. 

Hingga tiba waktu berpisah itu.

“Aisy, semua sudah beres, Abi-Ummi mau pulang dulu, ya.”  Kami berdiri dan berpamitan pada Ustadzah Ulfa.

Mata Aisy berkaca-kaca.  Dia mengikuti kami hingga ke pintu.

“Kalau boleh, Aisy mau ikut pulang dulu.” Air matanya menganak sungai.

“Aisy, kalau kamu pulang lagi, kapan mulai belajarnya?  Pertimbangkan juga pengorbanan waktu dan biaya yang harus keluarkan,” jawabku lembut dan hati-hati.

Aisy tertunduk dan diam.  Kucium pipi dan keningnya.  Dibalasnya dengan cium tangan takdzimnya pada kami.

Tanpa menoleh lagi ke belakang kami berjalan dan aku tak tahu ekspresi terakhirnya saat kami tak terlihat lagi.  Ada haru menggelayuti hatiku.  Seolah bermain di telaga air mata yang hampir berkecipak.  Aku tahan agar tak jatuh.  Kuganti dengan doa tulus, doa ketegaran yang kumohonkan untuk anakku.

‘Ya Rabb, bimbing anak hamba yang sedang berjalan fisabilillah. Lapangkan hatinya, bahagiakan dia dalam mengarungi samudera ilmuMu.  Berikan karunia ilmu yang berkah dan manfaat.  Ilmu yang mendekatkan dirinya padaMu.  Ilmu yang membuatnya rendah hati dan menyadari kebesaranMu.’  Bisik hatiku tak pernah berhenti bermunajat padaMu.

‘Ya Rabb, kirimkan teman yang baik, ustadz-ustadzah yang penyayang, yang membuatnya nyaman dalam bergaul dan menuntut ilmu.’

Di awal-awal berpisah jauh, Aisy banyak mengalami gangguan kesehatan.  Scabies di bagian perut dan kepala, infeksi telinga, sakit gigi dan yang terakhir ini samapi berobat di Temanggung, dirawat oleh kakak pertamaku yang tinggal di Temanggung Jawa Tengah.

Tiga bulan pertama, keluhannya hampir meruntuhkan ketegaranku.

“Aisy, bagaimana mau uterus atau pindah saja?”  Suatu saat aku menguji ketegarannya

“Nggak Ummi, pingin bisa diwisuda bareng yang lainnya.”

“Sekarang sudah ke jilid berapa?”

“Baru jilid dua, Mi?”

“Kira-kira bakal selesai nggak target wisuda satu tahun?”

“Insya Alloh, Mi.  Kalau Aisy sehat dan nggak banyak gangguan sakit sepertinya bakalan cepat.”

“Ya udah kalau Aisy yakin, Ummi selalu bantu doa dan biaya buat Aisy.”

Kedewasaannya makin nampak di usia ke-13.  Aku menghitung target satu tahun tinggal tersisa 9 bulan untuk mengejar 4 jilid kitab Amtsilati ditambah kitab Qaidati dan Shorfiyah.

Alhamdulillah di bulan ke-4 Aisy di Jepara.  Dering telepon tidak begitu sering aku dengar.  Malahan aku yang sebulan sekali memberi kabar tentang transfer biaya mesantren sambil menanyakan hasil belajar dan keadaan Aisy pada Ustadzah Ulfa.

“Ustadzah, bagaimana hafalan amtsilati Aisy?”  tanyaku di bulan ke delapan.

“Alhamdulillah Bu, sudah masuk jilid ke lima.”

“Bagaimana dengan nilainya?”

“Sebentar Bu, saya lihat di lembar setoran hafalannya.”

Aku menunggu sejenak sementara suara di seberang sana terhenti.

“Ibu, hasilnya bagus.  Selalu mencapai target nilai di atas sembilan.”

Aku menarik napas lega penuh kesyukuran, nampaknya Aisy sudah mulai bisa mengalahkan kesulitannya.  Adaptasi yang cukup sulit, tiga bulan dirundung penyakit.


Bulan kesepuluh Aisy di Amtsilati.  Kami berniat mencarikan sekolah menengah untuk menyambung pendidikan formal yang terputus satu tahun. Ada dua pilihan, tetap di Amtsilati sambil sekolah atau keluar melanjutkan sekolah sambil mesantren di tempat lain.

Sampailah pada wasilah yang Alloh dekatkan.  Teman Aisy yang mesantren di Jakarta mengalami depresi atau entah apa yang membuatnya sering berteriak tidak jelas.  Orang tuanya sangat mengharap Aisy bisa menemaninya di Al Mawaddah- Jakarta.

“Aisy, ada yang membutuhkan bantuan kamu.” Tanyaku melalui telfon di bulan ke sebelas Aisy belajar di Jepara.

“Ada apa, Ummi.  Selagi Aisy bisa tentu akan Aisy lakukan.”

Aku bercerita panjang lebar tentang keadaan kawan baiknya waktu di Pesantren Darul Akhirah.

“Sebenarnya Aisy sudah mulai betah tinggal di Jepara.  Teman-teman juga sudah saling memahami.  Tapi kalau itu keputusan Abi Ummi, Aisy ikut aja sih…..”  Sekali lagi kalimat itu diucapkannya untuk kesekian kali.  Sesuatu yang membuatku menitikkan air mata haru dan bahagia.  Rabb…semoga dia tidak menentang bathinnya.

Berpamitan dari Amtsilati, Aisy mengikuti seleksi masuk di pesantren barunya.  Mungkin saat ini dia bersedih karena berpisah dengan ma’had dan teman-teman yang sudah mulai dicintainya.

Pengumuman seleksi memutuskan Aisy diterima di Pesantren.

Berbeda dengan pesantrennya di Jepara, pesantrennya di Jakarta lebih memberinya ujian mental.  Betapa tidak? Sebuah pesantren bebas biaya full untuk yatim dan atau dhuafa ini, kadang membuatnya protes.

“Ummi sebenernya, ada kesalahan kenapa ummi memasukkan Aisy di sini.  Ini pesantren untuk yatim atau dhuafa.”

“Aisy, di sini ada latihan mental buat kamu. Selama kamu lulus seleksi, tidak ada yang salah dengan langkah kita.”

“Iya juga….tapi Aisy takut memakan hak orang yang lebih berhak.”

“Memangnya, Aisy malu disebut dhuafa.  Bukankah kita semua ini dhuafa.  Andai kita kuat sekalipun, bukankah kekuatan itu sebenarnya bukan milik kita?  Semua titipan dan pemberian Alloh.  Lagi pula Aisy sedang menemani teman dekat yang sakit bukan?” 

Panjang lebar aku memberi pengertian buat buah hatiku.  Aku tidak tahu apa sebenarnya yang membuat dia begitu ingin keluar dari pesantrennya.  Terlalu besar pengorbanan yang harus dikeluarkan seandainya Aisy harus keluar ditengah jalan. Biaya tebusan untuk ijazah SMP dan Raportnya mencapai satu juta perbulan.  Sedangkan Aisy sudah berada di ujung tahun ke dua.

Alasan beratnya biaya yang harus dikeluarkan akhirnya menghentikan rengekan Aisy.  Akan tetapi cerita yang kudengar membuatku tak kuasa menahan tangis.  Sebuah cerita yang tak pernah kuduga sebelumnya.  Kudengar dari seseorang yang juga mesantren di tempat yang sama.

“Dik Laras, coba ceritakan apa sih yang dialami Kak Aisyah sampai dia maksa harus keluar?” tanyaku penasaran

“Begini ummi, Kak Aisy pernah dihukum karena sesuatu yang tidak pernah dilakukannya.  Kak Aisy pinjam uang.  Kata kak Aisy udah dikembalikan. Sementara yang member pinjam bilang belum.  Sepertinya pihak pengurus lebih percaya pada yang ngasih pinjam.”

“Terus akhirnya gimana?”

“Kak Aisy kena marah dan hukuman di depan kami, adik-adik tingkatnya.”

“Kak Aisy sudah mengasih kembali uang pinjamannya belum?” Aku agak geram.  Rasanya aku tidak pernah terlambat mentransfer uang.

“Setelah hukuman itu, beberapa hari kemudian yang ngasih pinjam ke Kak Aisy minta maaf.  Dia terpaksa membuat cerita bohong untuk menutupi kesalahan.  Dia katakan uangnya dipinjam Kak Aisy.”

Rasa bersalahku memenuhi rongga dada. Mengapa aku sampai tidak tahu masalah besar Aisyah.

“Kalau boleh tahu siapa yang mengorbankan Kak Aisy itu? “

“Teman dekatnya yang sama-sama mesantren di Darul Akhirah!”

Seperti terkena petir di siang bolong. Air susu dibalas air tuba.  Aku segera menelpon anakku.  Segala permintaan maaf ingin aku ungkap.

“Kenapa kamu nggak cerita ke ummi? Kalau kamu kena fitnah, kena hukuman untuk dosa yang nggak kamu lakukan?”

“Ah Ummi, ummi tahu dari  siapa.  Lagian kejadiannya sudah lama.  Sekarang Aisy udah lulus, udah pengabdian.  Nggak baik ngungkit-ngungkit masalah.  Lagian Aisy sudah memaafkan dia.  Kalau Aisy cerita saat itu, Ummi emosi dan mencabut Aisy dari pesantren, biayanya besar Mi, saying. Lebih baik memaafkan.  Kan itu nasihat Ummi selama ini?”

Kedewasaannya membuatku benar-benar menitikkan air mata. Aku tidak bisa bicara apa-apa kecuali diam mendengar kata bijaknya.

“Ummi, anggap peristiwa ini tak pernah terjadi.  Nanti kalau Nesya datang, atau Ummi ketemu Nesya, jangan dimarahi ya.”

Ummi berjanji Anakku, takkan marah pada Nesya.  Takkan bertanya apa yang terjadi antara kamu dan Nesya.  Semoga samudra maaf ini mempertemukan kita dengan Rasululloh di telaga Kautsarnya.


Empat tahun mesantren di Jakarta dapat dilewati juga akhirnya.  Tidak ada sakit yang berarti tapi derita batin yang hampir memutuskan sabilillah.

Seleksi perguruan tinggi satu per satu diikuti.  SNMPTN  sudah tak ada kesempatan karena digunakan satu tahun setelah lulus SMA untuk pengabdian. SBMPTN memilih bahasa Arab UI, UGM dan UPI semua tidak lolos.  Setelah itu ikut UMPTKIN dan lolos jurusan bahasa Arab. 

“Ummi ada tempat kuliah bagus nih.  Bahasa Arab kurikulum LIPIA sesuai keinginan Kakak. Ada program pesantren tahfidz 30 Juz.  Kuliah full beasiswa.  Ada pengiriman mahasiswa ke Sudan dan Mesir.”

Nampaknya Aisyah antusias buat memilih kuliah di Kampus Kuliah Madinah Islamiah.  Kami juga setuju. Keinginan Aisyah kuliah di LIPIA terwakili, keinginan Abi supaya dia menghafal Alqur’an terwakili.  Keinginanku menguliahkan anak sambil mesantren juga terwakili.

Memasuki bulan pertama…….aku sengaja belanja masalah dari anakku.  Ku korek semua masalah yang dihadapinya.

“Ummi, sepertinya Aisy tidak akan mampu memenuhi target pondok.  Target sehari di sini tiga lembar setoran.  Rambut Aisy mulai Rontok.  Kalau malam-malam mau tidur, Aisy pusing.  Kadang-kadang pas bangun tidur juga pusing.  Kalau mandi pagi tangan pegal-pegal.  Pembuluh nadi menghijau.”

Keluhannya aku layani dengan berbagai nasihat, juga ikhtiar lahir.

“Aisy, ini sari kurma, ini air zamzam, ini vitamin, ini susu.”

Suntikan semangat juga aku kirimkan via chat wa yang diizinkan pondok seminggu sekali.

“Ummi, Naila teman senasib Aisy sudah keluar“  SMS Aisy suatu hari

“Apa sebabnya?”

“Susah menghafal kalau diselingi kuliah”

“Hafalan dia sudah sejauh mana?”

“Sama seperti Aisy baru Juz 26.  Target pondok dua bulan pertama ini dari Juz 26-30”

“Sabar sayang…..makin besar pengorbanan makin besar pula pahala yang Alloh janjikan.”

“Doain Aisy, Ummi.”

“Pasti, tiap kebaikan yang Ummi lakukan Ummi kirim buat Aisy.  Semoga dengan begitu Alloh anugerahkan kemudahan buat Aisy.  Baca La haula quata illa billah tiap ingat.”

Beberapa hari kami tidak komunikasi lewat WA.  Sebulan kemudian Aisy mengirim SMS.

“Ummi Aisy sedang menunggu di klinik buat rontgen (baca:ronsen) dada Aisy yang sakit dan panas.”

“Iya Aisy, semoga hasilnya baik-baik saja.  Mungkin karena Aisy banyak beban.  Ummi nggak pernah menuntut Aisy harus hafal sekian juz.  Yang penting Aisy berusaha, nggak nyia-nyiain waktu yang Alloh karuniakan untuk hal-hal yang buruk.”

Chating kami terputus, mungkin Aisy sedang di Rontgen dan sekarang sedang menunggu hasil. 

“Ummi Alhamdulillah, Aisy baik-baik aja.  Nggak ada penyakit terdeteksi.  Tapi Aisy tetap ingin diperiksa manual sama dokter perempuan.”

“Setelah ujian aja ya Aisy.”

“Iya nunggu Ummi ada waktu aja.  Mi…teman Aisy ada yang keluar lagi. Namanya Maryam, padahal dia udah stor juz 29.”

“Hafalan Aisy sampai Juz berapa?”

“Baru masuk 28.  Aisy yang paling lambat hapalannya.”

“Teruslah bertahan dan jadilah inspirator ketegaran. Walau susah tetap bertahan, terus berjuang. OK?”

“Iya Ummi, doakan Aisyah bisa hafal tartil dan terjaga.  Bahkan bisa memahami dan terutama mengamalkan isinya.”

Ya Rabb, beri kekuatan bagi anak hamba untuk terus berusaha.  Kirimkan kemudahan dari sisiMu.  Betapa besar dan mulia keinginannya.  Tak peduli kesulitan terus menghadang.  Jangan Kau sia-siakan harapannya ya Rabb…..

Aku tutup chating kami sore itu dengan motivasi tulus dari lubuk hatiku yang terdalam



Orang Istimewa bukanlah orang yang dikelilingi oleh kemudahan, tetapi mereka yang mampu menakhlukkan kesulitan. Menakhlukkan kesulitan tidak selalu mengubahnya menjadi kemudahan, tetapi juga menumbuhkan kesyukuran dan kesabaran dalam kesulitan.

You Might Also Like

0 komentar