INSPIRASI BUAH HATI
Orang Istimewa bukanlah orang yang dikelilingi oleh kemudahan, tetapi mereka yang mampu menakhlukkan kesulitanMenakhlukkan kesulitan tidak selalu mengubahnya menjadi kemudahan, tetapi juga menumbuhkan kesyukuran dan kesabaran dalam kesulitan
INSPIRASI DARI BUAH HATI
Berpisah dariku sejak berusia sebelas tahun, membuatnya makin matang dan mandiri. Ketika mengingat usia sekolah dasar, aku hampir tak mampu mengusir keraguanku. Akankah putriku yang satu ini bisa mandiri dan dewasa.Sejak kecil khadimah selalu saja membuat anak-anak merasa keenakan. Pembagian tugas di rumah pun menjadi kurang efektif.
"Bibi, biarlah itu
pekerjaan bagian Kak Aisy. Jangan dikerjakan sama Bibi. Bagaimana
mereka bisa menghargai pekerjaan Bibi kalau nggak pernah tahu bagaimana susahnya
kerjaan rumah."
"Biarlah Bu, Bibi merasa
nggak enak kalau pulang meninggalkan pekerjaan yang belum selesai."
"Pokoknya begitu
bagian Bibi selesai, Bibi harus segera pulang. Ini bagian pendidikan buat
anak-anak saya." Aku memberi pesan terakhir itu hampir setiap
hari. Tapi aku tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan pembagian kerja
itu. Pekerjaan di kantor membuatku pulang hingga pukul tiga
sore. Yang aku tahu setiap kali pulang semua sudah beres.
Hingga suatu hari.
"Kak Aisy, kenapa
cucian piringnya masih kotor? Kan tiap hari Ummi kasih tugas yang sama buat
Kakak?"
"Maafin Aisy,
Mi...sebenarnya Bibi selalu melarang Aisy buat ngerjain tugas Kakak. Tiap Aisy
pulang sekolah selalu saja seluruh pekerjaan sudah rapi. Jadi Aiy belum begitu
bisa melakukan dengan baik. Ummi jangan marah ya....?"
Demi melihat wajah
memelasnya, aku meredam segala kecewa.
"Aisy berjanji
akan melakukan tugas Aisy sebelum Bibi datang."
Aku tersenyum mendengar
kejujuran dan ketulusan janjinya. Padahal kalau mau bisa saja dia
bohong. Mengatakan bahwa tugasnya benar-benar dia lakukan. Toh
aku tidak melihat langsung tugasnya dikerjakan bibi.
Sayangnya, kesadaran
Aisyah ada di minggu terakhir sebelum ia masuk pesantren. Aku dan Abi
Aisy sepakat memasukkannya ke pesantren putri. Ada banyak pertimbangan kami
dalam memutuskan pendidikan anak kami. Kemandirian, pemahaman agama
sebagai modal hidup merupakan pertimbangan utama kami.
Malam itu, kami
sekeluarga mengelilingi hidangan sederhana.
Nasi putih, sayur lodeh hangat, sambal goreng teri kacang, sambal tomat
dan sesisir pisang ambon. Aku, Abi ,
Aisy dan dua anak kami yang lain, Kamilah dan Zulfikri menikmati makan
bersama
"Kak, Ummi dan Abi
ingin kamu menimba ilmu di Pesantren Terpadu Darul Akhirah. Alasannya,
ini akan menjadi latihan awal kamu berpisah dari Abi dan Ummi. Kalau ada
apa-apa, Abi-Ummi nggak kesulitan nengokinnya?" Abi berbicara pelan mengungkap
maksud kami
“Bagaimana kamu siap
untuk mondok?” tanyaku.
Sebetulnya dunia
pesantren bukan hal yang asing buat Aisyah.
Dia sering ikut Abinya yang mengajar di pesantren mewakafkan diri. Kekhawatiranku lebih pada bagaimana ia bisa
berpisah dengan teman dekatnya di SD yang menerut cerita Aisy, ia tidak akan
mesantren.
Kami terdiam sejenak.
“Aisy mah, gimana
baiknya Abi Ummi saja. Aisy ikut keputusan Abi-Ummi,” ucap Aisy ringan tanpa
beban.
Dalam perjalanan waktu
Aisy membuktikan perkataannya itu”Aisy ikut keputusan Abi-Ummi”
Tiga tahun di Pesantren
Darul Akhirah, hasil belajarnya belum memenuhi harapan kami. Libur akhir tahun, kami kirim Aisy ke salah satu pesantren kawan
dekat suamiku. Tujuan kami supaya Aisy
dapat memperlancar dan memperbaiki bacaan Alqurannya. Tidak lama, hanya satu bulan. Dan ia menurut.
Suatu saat, Abi punya
harapan Aisy untuk menguasai ilmu alat (nahwu-shorof). Kini tak tanggung-tanggung kami mengirimnya
ke Jepara. Perjalanan 14 jam dari tempat
tinggal kami, Pesantren Amtsilati.
“Aisy, Abi ingin Aisy
bisa membaca kitab kuning. Aisy kan baru
berumur 13 tahun. Berhenti sekolah untuk
belajar bahasa Al Qur’an bukan sesuatu yang merugikan.” Untuk kesekian kali
kami berunding saat itu.
Aisy memang masuk
sekolah dasar di usia lima tahun. Ia
menjadi yang termuda di kelasnya.
Seperti biasa ia
katakan,” Aisy ikut bagaimana baiknya aja.”
Satu bulan setelah Aisy
memperbaiki bacaan Qur’an, kami bertiga berangkat. Menaiki bis dari Tasikmalaya jam tujuh
malam. Jam sembilan kami memasuki
pesantren Amtsilati. Dari tepi jalan
kami berhenti, hanya tiga menit berjalan kaki, kami sudah memasuki kawasan
pesantren.
Sebuah pesantren besar
dengan ribuan santri. Berbagai jenis
bangunan mengelilingi pelataran yang cukup luas. Masing-masing bangunan diberi
nama sesuai fungsinya. Rumah pimpinan, masjid, ruang tunggu tamu dan rumah
pengasuh santri agak terpisah jauh.
Kami menanyakan banyak
hal pada resepsionis (petugas penerima tamu). Setelah semuanya jelas, kami menyelesaikan
segala urusan administrasi.
Hingga tiba waktu
berpisah itu.
“Aisy, semua sudah
beres, Abi-Ummi mau pulang dulu, ya.”
Kami berdiri dan berpamitan pada Ustadzah Ulfa.
Mata Aisy
berkaca-kaca. Dia mengikuti kami hingga
ke pintu.
“Kalau boleh, Aisy mau
ikut pulang dulu.” Air matanya menganak sungai.
“Aisy, kalau kamu
pulang lagi, kapan mulai belajarnya?
Pertimbangkan juga pengorbanan waktu dan biaya yang harus keluarkan,”
jawabku lembut dan hati-hati.
Aisy tertunduk dan diam. Kucium pipi dan keningnya. Dibalasnya dengan cium tangan takdzimnya pada
kami.
Tanpa menoleh lagi ke
belakang kami berjalan dan aku tak tahu ekspresi terakhirnya saat kami tak
terlihat lagi. Ada haru menggelayuti
hatiku. Seolah bermain di telaga air
mata yang hampir berkecipak. Aku tahan
agar tak jatuh. Kuganti dengan doa
tulus, doa ketegaran yang kumohonkan untuk anakku.
‘Ya Rabb, bimbing anak
hamba yang sedang berjalan fisabilillah. Lapangkan hatinya, bahagiakan dia
dalam mengarungi samudera ilmuMu.
Berikan karunia ilmu yang berkah dan manfaat. Ilmu yang mendekatkan dirinya padaMu. Ilmu yang membuatnya rendah hati dan menyadari
kebesaranMu.’ Bisik hatiku tak pernah
berhenti bermunajat padaMu.
‘Ya Rabb, kirimkan
teman yang baik, ustadz-ustadzah yang penyayang, yang membuatnya nyaman dalam
bergaul dan menuntut ilmu.’
Di awal-awal berpisah
jauh, Aisy banyak mengalami gangguan kesehatan.
Scabies di bagian perut dan kepala, infeksi telinga, sakit gigi dan yang
terakhir ini samapi berobat di Temanggung, dirawat oleh kakak pertamaku yang
tinggal di Temanggung Jawa Tengah.
Tiga bulan pertama, keluhannya
hampir meruntuhkan ketegaranku.
“Aisy, bagaimana mau
uterus atau pindah saja?” Suatu saat aku
menguji ketegarannya
“Nggak Ummi, pingin
bisa diwisuda bareng yang lainnya.”
“Sekarang sudah ke
jilid berapa?”
“Baru jilid dua, Mi?”
“Kira-kira bakal
selesai nggak target wisuda satu tahun?”
“Insya Alloh, Mi. Kalau Aisy sehat dan nggak banyak gangguan
sakit sepertinya bakalan cepat.”
“Ya udah kalau Aisy
yakin, Ummi selalu bantu doa dan biaya buat Aisy.”
Kedewasaannya makin
nampak di usia ke-13. Aku menghitung
target satu tahun tinggal tersisa 9 bulan untuk mengejar 4 jilid kitab
Amtsilati ditambah kitab Qaidati dan Shorfiyah.
Alhamdulillah
di bulan ke-4 Aisy di Jepara. Dering
telepon tidak begitu sering aku dengar.
Malahan aku yang sebulan sekali memberi kabar tentang transfer biaya
mesantren sambil menanyakan hasil belajar dan keadaan Aisy pada Ustadzah Ulfa.
“Ustadzah,
bagaimana hafalan amtsilati Aisy?”
tanyaku di bulan ke delapan.
“Alhamdulillah
Bu, sudah masuk jilid ke lima.”
“Bagaimana
dengan nilainya?”
“Sebentar
Bu, saya lihat di lembar setoran hafalannya.”
Aku
menunggu sejenak sementara suara di seberang sana terhenti.
“Ibu,
hasilnya bagus. Selalu mencapai target
nilai di atas sembilan.”
Aku
menarik napas lega penuh kesyukuran, nampaknya Aisy sudah mulai bisa
mengalahkan kesulitannya. Adaptasi yang
cukup sulit, tiga bulan dirundung penyakit.
Bulan
kesepuluh Aisy di Amtsilati. Kami
berniat mencarikan sekolah menengah untuk menyambung pendidikan formal yang
terputus satu tahun. Ada dua pilihan, tetap di Amtsilati sambil sekolah atau
keluar melanjutkan sekolah sambil mesantren di tempat lain.
Sampailah
pada wasilah yang Alloh dekatkan. Teman
Aisy yang mesantren di Jakarta mengalami depresi atau entah apa yang membuatnya
sering berteriak tidak jelas. Orang
tuanya sangat mengharap Aisy bisa menemaninya di Al Mawaddah- Jakarta.
“Aisy,
ada yang membutuhkan bantuan kamu.” Tanyaku melalui telfon di bulan ke sebelas
Aisy belajar di Jepara.
“Ada
apa, Ummi. Selagi Aisy bisa tentu akan
Aisy lakukan.”
Aku
bercerita panjang lebar tentang keadaan kawan baiknya waktu di Pesantren Darul
Akhirah.
“Sebenarnya
Aisy sudah mulai betah tinggal di Jepara.
Teman-teman juga sudah saling memahami.
Tapi kalau itu keputusan Abi Ummi, Aisy ikut aja sih…..” Sekali lagi kalimat itu diucapkannya untuk
kesekian kali. Sesuatu yang membuatku
menitikkan air mata haru dan bahagia.
Rabb…semoga dia tidak menentang bathinnya.
Berpamitan
dari Amtsilati, Aisy mengikuti seleksi masuk di pesantren barunya. Mungkin saat ini dia bersedih karena berpisah
dengan ma’had dan teman-teman yang sudah mulai dicintainya.
Pengumuman
seleksi memutuskan Aisy diterima di Pesantren.
Berbeda
dengan pesantrennya di Jepara, pesantrennya di Jakarta lebih memberinya ujian
mental. Betapa tidak? Sebuah pesantren
bebas biaya full untuk yatim dan atau dhuafa ini, kadang membuatnya protes.
“Ummi
sebenernya, ada kesalahan kenapa ummi memasukkan Aisy di sini. Ini pesantren untuk yatim atau dhuafa.”
“Aisy,
di sini ada latihan mental buat kamu. Selama kamu lulus seleksi, tidak ada yang
salah dengan langkah kita.”
“Iya
juga….tapi Aisy takut memakan hak orang yang lebih berhak.”
“Memangnya,
Aisy malu disebut dhuafa. Bukankah kita
semua ini dhuafa. Andai kita kuat
sekalipun, bukankah kekuatan itu sebenarnya bukan milik kita? Semua titipan dan pemberian Alloh. Lagi pula Aisy sedang menemani teman dekat
yang sakit bukan?”
Panjang
lebar aku memberi pengertian buat buah hatiku.
Aku tidak tahu apa sebenarnya yang membuat dia begitu ingin keluar dari
pesantrennya. Terlalu besar pengorbanan
yang harus dikeluarkan seandainya Aisy harus keluar ditengah jalan. Biaya
tebusan untuk ijazah SMP dan Raportnya mencapai satu juta perbulan. Sedangkan Aisy sudah berada di ujung tahun ke
dua.
Alasan
beratnya biaya yang harus dikeluarkan akhirnya menghentikan rengekan Aisy. Akan tetapi cerita yang kudengar membuatku
tak kuasa menahan tangis. Sebuah cerita
yang tak pernah kuduga sebelumnya. Kudengar
dari seseorang yang juga mesantren di tempat yang sama.
“Dik
Laras, coba ceritakan apa sih yang dialami Kak Aisyah sampai dia maksa harus
keluar?” tanyaku penasaran
“Begini
ummi, Kak Aisy pernah dihukum karena sesuatu yang tidak pernah
dilakukannya. Kak Aisy pinjam uang. Kata kak Aisy udah dikembalikan. Sementara
yang member pinjam bilang belum.
Sepertinya pihak pengurus lebih percaya pada yang ngasih pinjam.”
“Terus
akhirnya gimana?”
“Kak
Aisy kena marah dan hukuman di depan kami, adik-adik tingkatnya.”
“Kak
Aisy sudah mengasih kembali uang pinjamannya belum?” Aku agak geram. Rasanya aku tidak pernah terlambat
mentransfer uang.
“Setelah
hukuman itu, beberapa hari kemudian yang ngasih pinjam ke Kak Aisy minta
maaf. Dia terpaksa membuat cerita bohong
untuk menutupi kesalahan. Dia katakan uangnya
dipinjam Kak Aisy.”
Rasa
bersalahku memenuhi rongga dada. Mengapa aku sampai tidak tahu masalah besar
Aisyah.
“Kalau
boleh tahu siapa yang mengorbankan Kak Aisy itu? “
“Teman
dekatnya yang sama-sama mesantren di Darul Akhirah!”
Seperti
terkena petir di siang bolong. Air susu dibalas air tuba. Aku segera menelpon anakku. Segala permintaan maaf ingin aku ungkap.
“Kenapa
kamu nggak cerita ke ummi? Kalau kamu kena fitnah, kena hukuman untuk dosa yang
nggak kamu lakukan?”
“Ah
Ummi, ummi tahu dari siapa. Lagian kejadiannya sudah lama. Sekarang Aisy udah lulus, udah
pengabdian. Nggak baik ngungkit-ngungkit
masalah. Lagian Aisy sudah memaafkan
dia. Kalau Aisy cerita saat itu, Ummi
emosi dan mencabut Aisy dari pesantren, biayanya besar Mi, saying. Lebih baik
memaafkan. Kan itu nasihat Ummi selama
ini?”
Kedewasaannya
membuatku benar-benar menitikkan air mata. Aku tidak bisa bicara apa-apa
kecuali diam mendengar kata bijaknya.
“Ummi,
anggap peristiwa ini tak pernah terjadi.
Nanti kalau Nesya datang, atau Ummi ketemu Nesya, jangan dimarahi ya.”
Ummi
berjanji Anakku, takkan marah pada Nesya.
Takkan bertanya apa yang terjadi antara kamu dan Nesya. Semoga samudra maaf ini mempertemukan kita
dengan Rasululloh di telaga Kautsarnya.
Empat
tahun mesantren di Jakarta dapat dilewati juga akhirnya. Tidak ada sakit yang berarti tapi derita
batin yang hampir memutuskan sabilillah.
Seleksi
perguruan tinggi satu per satu diikuti. SNMPTN
sudah tak ada kesempatan karena
digunakan satu tahun setelah lulus SMA untuk pengabdian. SBMPTN memilih bahasa
Arab UI, UGM dan UPI semua tidak lolos. Setelah
itu ikut UMPTKIN dan lolos jurusan bahasa Arab.
“Ummi
ada tempat kuliah bagus nih. Bahasa Arab
kurikulum LIPIA sesuai keinginan Kakak. Ada program pesantren tahfidz 30
Juz. Kuliah full beasiswa. Ada pengiriman mahasiswa ke Sudan dan Mesir.”
Nampaknya
Aisyah antusias buat memilih kuliah di Kampus Kuliah Madinah Islamiah. Kami juga setuju. Keinginan Aisyah kuliah di
LIPIA terwakili, keinginan Abi supaya dia menghafal Alqur’an terwakili. Keinginanku menguliahkan anak sambil
mesantren juga terwakili.
Memasuki
bulan pertama…….aku sengaja belanja masalah dari anakku. Ku korek semua masalah yang dihadapinya.
“Ummi,
sepertinya Aisy tidak akan mampu memenuhi target pondok. Target sehari di sini tiga lembar setoran. Rambut Aisy mulai Rontok. Kalau malam-malam mau tidur, Aisy
pusing. Kadang-kadang pas bangun tidur juga
pusing. Kalau mandi pagi tangan
pegal-pegal. Pembuluh nadi menghijau.”
Keluhannya
aku layani dengan berbagai nasihat, juga ikhtiar lahir.
“Aisy,
ini sari kurma, ini air zamzam, ini vitamin, ini susu.”
Suntikan
semangat juga aku kirimkan via chat wa yang diizinkan pondok seminggu sekali.
“Ummi, Naila teman
senasib Aisy sudah keluar“
SMS Aisy suatu hari
“Apa sebabnya?”
“Susah menghafal
kalau diselingi kuliah”
“Hafalan dia sudah
sejauh mana?”
“Sama seperti Aisy
baru Juz 26. Target pondok dua bulan
pertama ini dari Juz 26-30”
“Sabar sayang…..makin
besar pengorbanan makin besar pula pahala yang Alloh janjikan.”
“Doain Aisy, Ummi.”
“Pasti, tiap
kebaikan yang Ummi lakukan Ummi kirim buat Aisy. Semoga dengan begitu Alloh anugerahkan
kemudahan buat Aisy. Baca La haula quata
illa billah tiap ingat.”
Beberapa hari kami
tidak komunikasi lewat WA. Sebulan
kemudian Aisy mengirim SMS.
“Ummi Aisy sedang
menunggu di klinik buat rontgen (baca:ronsen) dada Aisy yang sakit dan panas.”
“Iya Aisy, semoga
hasilnya baik-baik saja. Mungkin karena
Aisy banyak beban. Ummi nggak pernah
menuntut Aisy harus hafal sekian juz.
Yang penting Aisy berusaha, nggak nyia-nyiain waktu yang Alloh
karuniakan untuk hal-hal yang buruk.”
Chating kami
terputus, mungkin Aisy sedang di Rontgen dan sekarang sedang menunggu
hasil.
“Ummi Alhamdulillah,
Aisy baik-baik aja. Nggak ada penyakit
terdeteksi. Tapi Aisy tetap ingin
diperiksa manual sama dokter perempuan.”
“Setelah ujian aja
ya Aisy.”
“Iya nunggu Ummi ada
waktu aja. Mi…teman Aisy ada yang keluar
lagi. Namanya Maryam, padahal dia udah stor juz 29.”
“Hafalan Aisy sampai
Juz berapa?”
“Baru masuk 28. Aisy yang paling lambat hapalannya.”
“Teruslah bertahan
dan jadilah inspirator ketegaran. Walau susah tetap bertahan, terus berjuang.
OK?”
“Iya Ummi, doakan
Aisyah bisa hafal tartil dan terjaga.
Bahkan bisa memahami dan terutama mengamalkan isinya.”
Ya Rabb, beri
kekuatan bagi anak hamba untuk terus berusaha.
Kirimkan kemudahan dari sisiMu.
Betapa besar dan mulia keinginannya.
Tak peduli kesulitan terus menghadang.
Jangan Kau sia-siakan harapannya ya Rabb…..
Aku tutup chating
kami sore itu dengan motivasi tulus dari lubuk hatiku yang terdalam
Orang Istimewa bukanlah
orang yang dikelilingi oleh kemudahan, tetapi mereka yang mampu
menakhlukkan kesulitan. Menakhlukkan kesulitan tidak selalu mengubahnya menjadi
kemudahan, tetapi juga menumbuhkan kesyukuran dan kesabaran dalam
kesulitan.
0 komentar